Modernisasi,Rizki

Selasa, 18 Maret 2008

KEAJAIBAN ALQUR'AN


STATISTIK DI DALAM AL-QURAN
Satu kajian telah dijalankan oleh seorang cendekiawan Islam drpad Ikhwan Muslimin, Dr Tariq Al-Suwaidan yang mana beliau mendapati beberapa "keajaiban" statistik di dalam al-Quran. Secara ringkasnya, kajian tersebut menunjukkan bahawa :Perkataan/maksud dan bilangan yg disebut didalam Al-Quran antara lain ;

(1) al-dunya (dunia) 115 al-akhirah (akhirat) 115

(2) al-malaikat (malaikat) 88 al-syayateen (syaitan) 88

(3) al-hayat (kehidupan) 145 al-maut (kematian) 145

(4) al-rajul (lelaki) 24 al-mar'ah (perempuan) 24

(5) al-shahru (bulan) 12

(6) al-yauum (hari) 365

(7) al-bahar (lautan) 32 al-barr (daratan) 13Jika kita campurkan jumlah perkataan yang membawa maksud "lautan" dan "daratan", jumlahnya adalah 45 (32 + 13)

Dan jika dibuat kira-kira mudah:i)

Lautan : 32 / 45 X 100% = 71.11111111%ii)

Daratan : 13 / 45 X 100% = 28.88888888%

Jumlah = 100%

Jumat, 07 Maret 2008

Kebangkitan Islam



KEBANGKITAN ISLAM

CIRI khusus kebangkitan Islam kontemporer adalah tidak sekadar bermodalkan semangat, ungkapan verbal, dan slogan, melainkan kebangkitan yang benar-benar didasarkan pada komitmen terhadap Islam dan adab-adabnya, bahkan sunnah-sunnahnya. Pujian perlu diberikan kepada para pemuda mukmin karena mereka telah menghidupkan kembali sunnah-sunnah dan adab-adab Islam di kalangan lapisan terpelajar dan orang-orang yang hanya sedikit mempunyai perhatian terhadap agama. Maka setelah sekian lama berada dalam kevakuman, muncullah di tengah masyarakat, orang-orang yang ditengarai oleh Allah SWT,
"Mereka adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah... " (at-Taubah: 112).

Untuk mewujudkan misi suci ini, menjamurlah berbagai kelompok halaqah dan harakah di universitas-universitas. Dengan bersemangat mereka membangun masjid-masjid dan mengumandangkan azan. Bangkitlah jamaah pria maupun wanita untuk menyambut panggilan Islam. Meluaslah pemakaian jilbab, bahkan cadar, di kalangan akhwat (wanita muslim). Buku-buku dan berbagai literatur keislaman dipublikasikan secara luas. Generasi rabbani yang berkomitmen terhadap Islam tampil dengan ghirah membara. Gerakan inilah yang secara nyata merupakan fenomena paling besar dan strategis di Arab dan dunia Islam dewasa ini.
Faktor-faktor Kebangkitan yang Diingkari

Meskipun tidak diragukan bahwa kebangkitan Islam di kalangan para pemuda mempunyai kelebihan dan keseriusan, namun ada beberapa catatan (kritik membangun) yang perlu dikemukakan terhadap beberapa hal yang menjadi ciri gerakan ini, yaitu:
1. Kedangkalan studi Islam dan syariatnya.
2. Tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain.
3. Sibuk mempersoalkan masalah-masalah kecil dan melupakan masalah-masalah besar.
4. Berdebat dengan pendekatan yang kasar.
5. Cenderung memberatkan diri dan mempersulit persoalan.

1. Kedangkalan Studi Islam dan Syariatnya

Mayoritas pemuda yang bergabung dalam kelompok-kelompok ini mempelajari Islam secara otodidak. Mereka berguru pada buku-buku tanpa pembimbing yang dapat mengarahkannya, menafsirkan masalah-masalah dan istilah-istilah kunci yang masih samar-samar, mengembalikan masalah-masalah cabang kepada akarnya, dan mengikat bagian-bagian ke induknya. Padahal studi Islam tidak dapat dilakukan dengan jalan pintas, sebab tidak terlepas dari hal-hal yang rumit dan beresiko. Hal-hal ini tidak dapat diselesaikan kecuali melalui berbagai latihan dan ketekunan. Apalagi bagi mereka yang masih berada pada tahap awal dan berhadapan dengan bermacam-macam pemikiran serta menemui berbagai ketidakjelasan dalam studi. Orang yang mencari ilmu dengan cara di atas, oleh para ulama salaf disebut kelompok shahafi (kutu teks). Mereka menganjurkan kepada kelompok ini agar mencari ilmu dari para ahlinya dan orang-orang yang berpengalaman dan matang dalam suatu disiplin keilmuan. Allah SWT berfirman,
"...dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Fathir: 14)
Pada dasarnya, para pemuda ini tidak dapat menerima apa yang selama ini dilakukan oleh para ulama. Kelompok pemuda ini muncul pertama kali secara spesifik di Mesir ketika banyak ulama yang berkredibilitas tinggi di hati umat sedang dipenjara, melarikan diri, atau hidup di pengasingan. Para ikhwan muda tersebut sudah tidak percaya lagi terhadap mayoritas ulama formal. Mungkin saja hal ini disebabkan karena hubungan ulama dan penguasa terlalu dekat atau karena keberanian mereka berbicara tentang Islam tanpa dasar yang kokoh.
Sehingga mereka menganggap bahwa para ulama salaf yang telah tiada itu lebih dapat dipercaya daripada mayoritas ulama pada zamannya. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Mas'ud ra.,
"Barangsiapa yang mengikuti jejak, maka kendaklah mengikuti jejak orang-orang yang telah tiada, karena orang yang masih hidup itu engkau tidak dapat mempercayainya."

2. Tidak Mengakui Kebenaran Pendapat Orang Lain

Kelemahan lain yang ada pada mereka adalah keterpakuan pada satu sudut pandang masalah dan tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (mempunyai lebih dari satu penafsiran --peny.). Sehingga dari masalah tertentu akan muncul berbagai pemahaman, ijtihad, dan penafsiran. Penafsiran-penafsiran tersebut ada yang cenderung tekstual d an ada yang kontekstual, ada yang berpatokan pada zahir nash dan ada pula yang menangkap ruhnya (maksudnya nash --peny.). Wajar jika dalam perjalanannya, fikih berkembang pesat dan terbagi menjadi tiga aliran, yaitu: ra'yu (rasionalis), atsar (ahlu-hadist), dan zahiriyah (tekstual). Penulis mengamati bahwa aliran-aliran ini hidup saling berdampingan, bertoleransi, dan bekerjasama. Hal ini dapat tercipta karena adanya pengertian dari para pengikutnya bahwa setiap mujtahid mempunyai sudut pandang tersendiri. Masing-masing mujtahid memperoleh dua pahala jika ijtihadnya benar dan satu pahala jika salah. Bila terjadi perbedaan pendapat di antara mereka terhadap suatu masalah, maka hal itu diekspresikan dalam bentuk dialog konstruktif, tidak sampai keluar dari etika ilmiah dalam bentuk mencela atau melukai perasaan mitra dialog.
Ada pakar ushul fiqih yang merasa tak cukup hanya mengatakan bahwa para mujtahid akan memperoleh pahala melainkan menambahkannya dengan pernyataan, "Bahkan setiap mujtahid adalah benar."
Kecenderungan mempersempit diri amat wajar terjadi pada kelompok-kelompok pemuda Islam ini. Mereka belum mengetahui berbagai pandangan lain yang terdapat dalam lapangan pemikiran Islam. Mungkin juga mereka telah memahami sebagian khazanah pemikiran yang ada, namun mereka belum mampu membuat studi komparasi karena maraji (kitab-kitab rujukan) atau para syekh yang mereka ikuti menampilkan satu pandangan (aliran) pemikiran saja. Apalagi diperparah dengan kebiasaan mereka yang menganggap pendapat lain itu salah dan sesat. Tentu saja sikap tersebut bertolak belakang dengan sikap para ulama salaf yang menyatakan, "Pendapatku mungkin benar, namun juga mengandung kesalahan, dan pendapat lain mungkin salah, namun juga mengandung kebenaran." Demikianlah ungkapan maksimal seorang mujtahid tentang pendapat yang dikeluarkan, meskipun ada ulama lain yang berpendapat tentang hal tersebut secara keras, karena hasil ijtihad dapat dinilai sahih jika dikemukakan oleh seorang ahli secara memadai.
Pada umumnya, argumen yang diajukan kelompok-kelompok pemuda Islam adalah bahwa pernyataan-pernyataan mereka selalu didasarkan pada nash, dan jika ditemukan nash terhadap suatu masalah, maka ijtihad menjadi batal. Pandangan itu tidak benar, sebab ijtihad mempunyai lapangannya sendiri, yaitu harus ada nash untuk ditafsirkan, diambil kesimpulan hukumnya, dan dianalisis perbandingannya dengan nash-nash yang lain. Banyak nash yang zahirnya membutuhkan takwil, nash-nash 'am (umum) yang mengandung takhshish (pengkhususan), nash-nash mutlaq yang mengandung taqyid (penjelas-pengikat), serta nash-nash yang kelihatan kontradiktif dengan nash-nash lain dan kaidah-kaidah hukum.
Semua ini dikehendaki oleh Allah SWT. Bila tidak, tentu Allah menjadikan seluruh nash dalam bentuk muhkamat, tidak mengandung perbedaan interpretasi dan peluang keragaman. Akan tetapi, Allah sengaja menjadikan sebagian nash muhkamat (jelas dan tegas) dan sebagian lagi mutasyabihat (samar-samar) atau qath'iyat (pasti) dan zhanniyat (interpretatif). Pada dasarnya, pendekatan ini memberikan peluang kepada para mujtahid untuk berpikir dan keleluasaan terhadap para mukallaf (orang yang telah dibebani kewajiban melaksanakan hukum).
Penulis ingin memberikan ilustrasi mengenai perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan bagaimana Rasulullah saw. menyikapinya, yakni pada kasus shalat Asar yang dilakukan di Bani Quraizah. Sebagian mereka melakukan shalat di tengah perjalanan karena mempraktekkan maksud dari nash, sedangkan sebagian yang lain melakukannya setelah tiba di Bani Quraizah padahal waktu shalat telah habis. Kelompok kedua cenderung memahami nash secara harfiah (tekstual). Rasulullah saw. tidak berlaku keras terhadap kedua kelompok itu (dapat menerima perbedaan pandangan tersebut-peny.).

3. Sibuk dengan Masalah-masalah Sampingan dan Mengabaikan yang Pokok

Para pemuda aktivis terlampau menyibukkan diri pada masalah-masalah yang tidak prinsipil dan tidak memberikan perhatian yang memadai pada masalah-masalah besar yang berhubungan dengan eksistensi dan masa depan umat. Mereka mempersoalkan kembali masalah-masalah usang yang telah lama diperdebatkan. Misalnya: memelihara janggut, memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki, menggerak-gerakkan telunjuk dalam tasyahud, dan fotografi.
Padahal kita sedang menghadapi sekularisme yang meracuni umat, Marxisme, Zionisme, kristenisasi, dan berbagai gerakan baru yang menghunjam tubuh umat serta menembus sendi - sindi kehidupan beragama