Modernisasi,Rizki

Selasa, 18 Maret 2008

KEAJAIBAN ALQUR'AN


STATISTIK DI DALAM AL-QURAN
Satu kajian telah dijalankan oleh seorang cendekiawan Islam drpad Ikhwan Muslimin, Dr Tariq Al-Suwaidan yang mana beliau mendapati beberapa "keajaiban" statistik di dalam al-Quran. Secara ringkasnya, kajian tersebut menunjukkan bahawa :Perkataan/maksud dan bilangan yg disebut didalam Al-Quran antara lain ;

(1) al-dunya (dunia) 115 al-akhirah (akhirat) 115

(2) al-malaikat (malaikat) 88 al-syayateen (syaitan) 88

(3) al-hayat (kehidupan) 145 al-maut (kematian) 145

(4) al-rajul (lelaki) 24 al-mar'ah (perempuan) 24

(5) al-shahru (bulan) 12

(6) al-yauum (hari) 365

(7) al-bahar (lautan) 32 al-barr (daratan) 13Jika kita campurkan jumlah perkataan yang membawa maksud "lautan" dan "daratan", jumlahnya adalah 45 (32 + 13)

Dan jika dibuat kira-kira mudah:i)

Lautan : 32 / 45 X 100% = 71.11111111%ii)

Daratan : 13 / 45 X 100% = 28.88888888%

Jumlah = 100%

Jumat, 07 Maret 2008

Kebangkitan Islam



KEBANGKITAN ISLAM

CIRI khusus kebangkitan Islam kontemporer adalah tidak sekadar bermodalkan semangat, ungkapan verbal, dan slogan, melainkan kebangkitan yang benar-benar didasarkan pada komitmen terhadap Islam dan adab-adabnya, bahkan sunnah-sunnahnya. Pujian perlu diberikan kepada para pemuda mukmin karena mereka telah menghidupkan kembali sunnah-sunnah dan adab-adab Islam di kalangan lapisan terpelajar dan orang-orang yang hanya sedikit mempunyai perhatian terhadap agama. Maka setelah sekian lama berada dalam kevakuman, muncullah di tengah masyarakat, orang-orang yang ditengarai oleh Allah SWT,
"Mereka adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah... " (at-Taubah: 112).

Untuk mewujudkan misi suci ini, menjamurlah berbagai kelompok halaqah dan harakah di universitas-universitas. Dengan bersemangat mereka membangun masjid-masjid dan mengumandangkan azan. Bangkitlah jamaah pria maupun wanita untuk menyambut panggilan Islam. Meluaslah pemakaian jilbab, bahkan cadar, di kalangan akhwat (wanita muslim). Buku-buku dan berbagai literatur keislaman dipublikasikan secara luas. Generasi rabbani yang berkomitmen terhadap Islam tampil dengan ghirah membara. Gerakan inilah yang secara nyata merupakan fenomena paling besar dan strategis di Arab dan dunia Islam dewasa ini.
Faktor-faktor Kebangkitan yang Diingkari

Meskipun tidak diragukan bahwa kebangkitan Islam di kalangan para pemuda mempunyai kelebihan dan keseriusan, namun ada beberapa catatan (kritik membangun) yang perlu dikemukakan terhadap beberapa hal yang menjadi ciri gerakan ini, yaitu:
1. Kedangkalan studi Islam dan syariatnya.
2. Tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain.
3. Sibuk mempersoalkan masalah-masalah kecil dan melupakan masalah-masalah besar.
4. Berdebat dengan pendekatan yang kasar.
5. Cenderung memberatkan diri dan mempersulit persoalan.

1. Kedangkalan Studi Islam dan Syariatnya

Mayoritas pemuda yang bergabung dalam kelompok-kelompok ini mempelajari Islam secara otodidak. Mereka berguru pada buku-buku tanpa pembimbing yang dapat mengarahkannya, menafsirkan masalah-masalah dan istilah-istilah kunci yang masih samar-samar, mengembalikan masalah-masalah cabang kepada akarnya, dan mengikat bagian-bagian ke induknya. Padahal studi Islam tidak dapat dilakukan dengan jalan pintas, sebab tidak terlepas dari hal-hal yang rumit dan beresiko. Hal-hal ini tidak dapat diselesaikan kecuali melalui berbagai latihan dan ketekunan. Apalagi bagi mereka yang masih berada pada tahap awal dan berhadapan dengan bermacam-macam pemikiran serta menemui berbagai ketidakjelasan dalam studi. Orang yang mencari ilmu dengan cara di atas, oleh para ulama salaf disebut kelompok shahafi (kutu teks). Mereka menganjurkan kepada kelompok ini agar mencari ilmu dari para ahlinya dan orang-orang yang berpengalaman dan matang dalam suatu disiplin keilmuan. Allah SWT berfirman,
"...dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Fathir: 14)
Pada dasarnya, para pemuda ini tidak dapat menerima apa yang selama ini dilakukan oleh para ulama. Kelompok pemuda ini muncul pertama kali secara spesifik di Mesir ketika banyak ulama yang berkredibilitas tinggi di hati umat sedang dipenjara, melarikan diri, atau hidup di pengasingan. Para ikhwan muda tersebut sudah tidak percaya lagi terhadap mayoritas ulama formal. Mungkin saja hal ini disebabkan karena hubungan ulama dan penguasa terlalu dekat atau karena keberanian mereka berbicara tentang Islam tanpa dasar yang kokoh.
Sehingga mereka menganggap bahwa para ulama salaf yang telah tiada itu lebih dapat dipercaya daripada mayoritas ulama pada zamannya. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Mas'ud ra.,
"Barangsiapa yang mengikuti jejak, maka kendaklah mengikuti jejak orang-orang yang telah tiada, karena orang yang masih hidup itu engkau tidak dapat mempercayainya."

2. Tidak Mengakui Kebenaran Pendapat Orang Lain

Kelemahan lain yang ada pada mereka adalah keterpakuan pada satu sudut pandang masalah dan tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (mempunyai lebih dari satu penafsiran --peny.). Sehingga dari masalah tertentu akan muncul berbagai pemahaman, ijtihad, dan penafsiran. Penafsiran-penafsiran tersebut ada yang cenderung tekstual d an ada yang kontekstual, ada yang berpatokan pada zahir nash dan ada pula yang menangkap ruhnya (maksudnya nash --peny.). Wajar jika dalam perjalanannya, fikih berkembang pesat dan terbagi menjadi tiga aliran, yaitu: ra'yu (rasionalis), atsar (ahlu-hadist), dan zahiriyah (tekstual). Penulis mengamati bahwa aliran-aliran ini hidup saling berdampingan, bertoleransi, dan bekerjasama. Hal ini dapat tercipta karena adanya pengertian dari para pengikutnya bahwa setiap mujtahid mempunyai sudut pandang tersendiri. Masing-masing mujtahid memperoleh dua pahala jika ijtihadnya benar dan satu pahala jika salah. Bila terjadi perbedaan pendapat di antara mereka terhadap suatu masalah, maka hal itu diekspresikan dalam bentuk dialog konstruktif, tidak sampai keluar dari etika ilmiah dalam bentuk mencela atau melukai perasaan mitra dialog.
Ada pakar ushul fiqih yang merasa tak cukup hanya mengatakan bahwa para mujtahid akan memperoleh pahala melainkan menambahkannya dengan pernyataan, "Bahkan setiap mujtahid adalah benar."
Kecenderungan mempersempit diri amat wajar terjadi pada kelompok-kelompok pemuda Islam ini. Mereka belum mengetahui berbagai pandangan lain yang terdapat dalam lapangan pemikiran Islam. Mungkin juga mereka telah memahami sebagian khazanah pemikiran yang ada, namun mereka belum mampu membuat studi komparasi karena maraji (kitab-kitab rujukan) atau para syekh yang mereka ikuti menampilkan satu pandangan (aliran) pemikiran saja. Apalagi diperparah dengan kebiasaan mereka yang menganggap pendapat lain itu salah dan sesat. Tentu saja sikap tersebut bertolak belakang dengan sikap para ulama salaf yang menyatakan, "Pendapatku mungkin benar, namun juga mengandung kesalahan, dan pendapat lain mungkin salah, namun juga mengandung kebenaran." Demikianlah ungkapan maksimal seorang mujtahid tentang pendapat yang dikeluarkan, meskipun ada ulama lain yang berpendapat tentang hal tersebut secara keras, karena hasil ijtihad dapat dinilai sahih jika dikemukakan oleh seorang ahli secara memadai.
Pada umumnya, argumen yang diajukan kelompok-kelompok pemuda Islam adalah bahwa pernyataan-pernyataan mereka selalu didasarkan pada nash, dan jika ditemukan nash terhadap suatu masalah, maka ijtihad menjadi batal. Pandangan itu tidak benar, sebab ijtihad mempunyai lapangannya sendiri, yaitu harus ada nash untuk ditafsirkan, diambil kesimpulan hukumnya, dan dianalisis perbandingannya dengan nash-nash yang lain. Banyak nash yang zahirnya membutuhkan takwil, nash-nash 'am (umum) yang mengandung takhshish (pengkhususan), nash-nash mutlaq yang mengandung taqyid (penjelas-pengikat), serta nash-nash yang kelihatan kontradiktif dengan nash-nash lain dan kaidah-kaidah hukum.
Semua ini dikehendaki oleh Allah SWT. Bila tidak, tentu Allah menjadikan seluruh nash dalam bentuk muhkamat, tidak mengandung perbedaan interpretasi dan peluang keragaman. Akan tetapi, Allah sengaja menjadikan sebagian nash muhkamat (jelas dan tegas) dan sebagian lagi mutasyabihat (samar-samar) atau qath'iyat (pasti) dan zhanniyat (interpretatif). Pada dasarnya, pendekatan ini memberikan peluang kepada para mujtahid untuk berpikir dan keleluasaan terhadap para mukallaf (orang yang telah dibebani kewajiban melaksanakan hukum).
Penulis ingin memberikan ilustrasi mengenai perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan bagaimana Rasulullah saw. menyikapinya, yakni pada kasus shalat Asar yang dilakukan di Bani Quraizah. Sebagian mereka melakukan shalat di tengah perjalanan karena mempraktekkan maksud dari nash, sedangkan sebagian yang lain melakukannya setelah tiba di Bani Quraizah padahal waktu shalat telah habis. Kelompok kedua cenderung memahami nash secara harfiah (tekstual). Rasulullah saw. tidak berlaku keras terhadap kedua kelompok itu (dapat menerima perbedaan pandangan tersebut-peny.).

3. Sibuk dengan Masalah-masalah Sampingan dan Mengabaikan yang Pokok

Para pemuda aktivis terlampau menyibukkan diri pada masalah-masalah yang tidak prinsipil dan tidak memberikan perhatian yang memadai pada masalah-masalah besar yang berhubungan dengan eksistensi dan masa depan umat. Mereka mempersoalkan kembali masalah-masalah usang yang telah lama diperdebatkan. Misalnya: memelihara janggut, memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki, menggerak-gerakkan telunjuk dalam tasyahud, dan fotografi.
Padahal kita sedang menghadapi sekularisme yang meracuni umat, Marxisme, Zionisme, kristenisasi, dan berbagai gerakan baru yang menghunjam tubuh umat serta menembus sendi - sindi kehidupan beragama

Sabtu, 23 Februari 2008

Keberkahan Rizki


KEBERKAHAN DIAWALI DI PAGI HARI

Hadirin yang dirahmati Allah. Alhadulillah, kita baru saja telah menyelesaikan sholat subuh berjamaah di masjid raya Darusallam yang sangat menyejukkan. Shalawat dan salam pada semoga tercurah pada Rosululloh Saw. Sebagaimana doa Rosululloh, ?ya allah turunkanlah keberkahan untuk umatku semenjak mereka berada pada waktu pagi hari?

Pada zaman rosululloh makna keberkahan adalah kalau pada pagi hari sudah Sholat Subuh berjamaah, melakukan Sholat sunnah muakad. Karena itu kita bersyukur kepada Allah dan bersholawat kepada yang telah mendoakan keberkahan ini, yaitu Rosululloh Saw. Tentu keberkahan memiliki makna yang sangat mendalam. Beliau menyampaikan tentang susuatu yang penting, yaitu hidup yang berkah. Keberkahan itu muncul dan di mulai sejak awal kita memulai kehidupan, yaitu sejak pagi hari. Keberkahan di butuhkan oleh setiap orang, tidak pandang umur, semua butuh keberkahan, mengapa?


Keberkahan merupakan sesuatu kebaikan yang kehadirannya tidak aselalu dapat kita programkan dan tidak dapat dipastikan. Ia hadir bisa jadi untuk menyelesaikan sesuatu masalah, menyelamatkan maunsia dari masalah, sesuatu yang dengannya di awal dan akhir menjadikan kehidupan terasa nyaman, damai, mawadah warohmah.


Sebagai perumpamaan, misalnya bisa jadi secara ekonomi kita terbatas, tapi keluarga kita tentram. Meskipun rezeki tidak banyak, tapi cukup. Tanda tidak hadirnya keberkahan dapat dilihat dari perilaku negative, tidak adanya kebaikan, sehingga tidak ada pula keberkahan. Dengan harta benda yang kita miliki, kita tidak merasakan kebaikan, mungkin ini tanda tidak berkah.


Dengan kesadaran penuh, mari kita memulai hidup dengan keberkahan , kita akan hidup dalam keadaan ridho dan qonaah, sehingga hadir keadaan yang sakinah dan mawadah. Ketika kita hidup dalam keadaan yang tidak berkah, maka hidup gersang, resah tidak ada ketentraman.


Ada sebuah kisah, Seorang istri meminta bantuan, suaminya di penjara karena korupsi, keluarganya menjadi keluarga yang terhina, bahkan anak-anaknya juga di kucilkan, di olok-olok. Saya tidak bisa bantu, mengeluarkan dia dari penjara karena ini masalah hukum yang sudah jelas. Tapi bisa dibantu dalam hal lain, seperti mengingatkan keluarganya untuk bertaubat, mengambil hikmah dari kejadian tersebut semoga tidak terulang lagi.


Hidup tidak berkah, bisa jadi memunculkan azab atau balasan di dunia. Kita bersyukur telah mendapatkan cahaya Islam. Agama Islam yang hadir tidak hannya dalam bentuk wacana, tetapi membawa realisasi, yaitu hadirnya nabi Muhammad Saw. Rosuluilloh adalah Alquran yang berjalan. Pengejawantahan yang konkrit dan paling benar terhadap Al Islam. Penterjemahan ini tidak menjadikan kita penuh dengan masalah, konflik tetapi justru menghadirkan solusi.


Saat ini kondisi umat Islam juga berada dalam kodisi yang terus-menerus di sudutkan. Tuduhan Islam terorisme, itu adalah fitnah, hal itu juga terjadi pada zaman rosululloh, Karena merekae mnolak ajakan Rosulloh. Dengan segala cara orang kafir menteror rosululloh. Tapi Rosululloh tidak pernah membalas teror dengan terror. Bahkan sebaliknya rosululloh membalasnya dengan ahklakul karimah. Alloh tidak pernah mengabaikan dan menyia-nyiakan kebaikan hambanya.


Di tengah segala kejadian itu, Allah langsung memberikan ganjaran, bentuknya adalah peristiwa isra miraj. Inilah posisi dimana Allah berkenan menghadirkan hambanya langsung bertmu dengan-Nya, tanpa melalui perantara malaikat Jibril. Inilah nikmat yang paling besar dalam kehidupan. Melihat dzat Allah adalah kenikmatan terbesar bagi hambanya.


Peristiwa itu semua merupakan balasan atas keistiqamahan dan keikhlasan Rosululloh Saw. Kebaikan lain yang muncul setelah itu adalah peristiwa hijrah.. Setelah nabi Muhammad Saw difitnah, dimusuhi, datanglah pertolongan Allah, hadielah masyarakat baru yang membawa kebaikan. Masyarakat yang sebelumnya jahiliyah menjadi masyarakat yang penuh dengan kebaikan, yakni di Madinah, yang sebelumnya bernama Yastrib. Semoga dengan kebaikan ini kita akan mudah untuk menjadi umat yang unggul, bertaqwa, dan menjadi umat yang selalu mendapat keberkahan, umat yang di mulaikan dengan keberkahan dan menyebarkan keberkahan.

Tantangan Modernisasi Bagi Remaja Muslim

Para futurolog (ahli masa depan) memprediksi bahwa masa depan yang akan dihadapi manusia adalah masa kejayaan teknologi komunikasi. Prediksi ini didasari oleh realita saat ini, ketika kemajuan teknologi bidang mikrochip, komputer, dan satelit cukup dominan. Tiga bidang teknologi inilah yang akan memacu revolusi komunikasi dan informasi, sebagaimana dinyatakan Teknologi bidang microchip, computer, dan sattelit satu sama lain saling melengkapi.
Bertolak dari apa yang dikemukakan UNESCO, jelaslah bahwa yang menjadi kiblat riset iptek saat ini adalah Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Rusia. Bagaimana dengan negara-negara muslim? Tidak ada satu pun negara muslim yang dijadikan kiblat dalam bidang iptek karena porsi kepemilikan risetnya hanya sekitar tiga persen saja dari seluruh hasil riset yang dikembangkan di dunia ini. Konsekuensinya, kemajuan bidang teknologi dengan segala konsekuensinya, termasuk di dalamnya revolusi informasi akan mencerminkan para penguasa teknologi itu sendiri, yaitu bercirikan sekuler (nilai-nilai transendental terlepas dari kehidupan duniawi).
Konsekuensi selanjutnya sebagai akibat dari revolusi teknologi dan revolusi informasi adalah revolusi sosial dan budaya. Hal ini terjadi karena batas-batas geografis antar negara makin transparan, sehingga terjadilah budaya yang makin mengglobal, bahkan merambah pada bidang ekonomi (ekonomi global).
Bertolak dari paparan di atas, ada beberapa masalah yang perlu diantisipasi, yaitu apa yang harus dilakukan remaja muslim dalam menghadapi tantangan modernitas (revolusi teknologi, informasi, dan budaya)? Lalu, bagaimana ajaran Islam bisa dilaksanakan secara konsekuen di tengah-tengah arus sekulerisme yang begitu kuat?
Secara garis besar, sikap remaja muslim dalam menghadapi tantangan modernitas terbagi pada tiga kelompok;
1. Remaja muslim yang distopistik, yaitu remaja muslim yang lari dari kenyataan, apatis, bahkan pesimis menghadapi tantangan modernitas. Mereka lari dari persaingan, tidak ada gairah belajar, bahkan berhenti kuliah karena menganggap bahwa materi perkuliahan itu ilmu sekuler, dan akhirnya berdiam diri.
2. Remaja muslim yang utopistik, yaitu remaja muslim yang memiliki optimisme yang berlebihan. Ia berkeyakinan bahwa kemodernan itu bisa menyelesaikan segala masalah. Karena itulah ia belajar sungguh-sungguh dan siap bersaing. Hal tersebut tentunya sangat baik. Sayangnya, remaja yang utopistik ini sikapnya berlebihan.
3. Remaja muslim yang moderat, yaitu remaja yang mampu melihat dirinya secara utuh, tulus dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak lalai dalam menghadapi tantangan zaman. Sikapnya diimplementasikan dengan belajar dan bekerja sungguh-sungguh, mau bersaing, dan mampu melihat kenyataan secara realistik.
Mencermati kenyataan di atas, bisa dianalisis bahwa yang paling ideal adalah sikap yang ketiga, yaitu moderat. Dikatakan ideal karena sikap ini didukung oleh beberapa isyarat Al Qr’an bahwa kaum muslimin, baik laki-laki ataupun perempuan, dinobatkan sebagai khalifah fil ardh (yang mengatur bahkan sebagai decision maker demi kemaslahatan dunia). Dan untuk bisa melaksanakan kekhalifahan secara mapan, modal utamanya adalah ilmu, hal ini tercermin ketika Allah swt. berfirman kepada para malaikat bahwa Dia akan menjadikan Adam dan keturunannya (manusia) sebagai khalifah. Yang diperlihatkan kepada para malaikat untuk menduduki jabatan khalifah fil ardh adalah penguasaan ilmu. (lihat Q.S. Al Baqarah: 30-33).
Penguasaan ilmu merupakan kunci kesuksesan sebagai khalifah fil ardh. Kemudian terlihat pula dalam ayat yang pertama kali diterima Rasulullah saw., yaitu lima ayat dari surat Al ‘Alaq. Lima ayat ini menyentuh masalah yang paling essensial dari potensi manusia, yaitu akal dan batin (fikir dan dzikir), juga disebutkan perangkatnya, yaitu iqra (baca, riset, teliti), ‘allama (mengajarkan/transfer ilmu), dan qalam (alat tulis/alat penyimpan data/memori).
Kalau ayat-ayat Al Qur’an ditelusuri secara seksama, bisa ditemukan bahwa pengembangan dan pengoptimalan intelektual yang berwawasan tauhid sangat mewarnai pesan-pesan Al Qur’an. Ini terbukti misalnya dengan disebutkannya kata ‘ilmu dengan berbagai pecahannya sebanyak 780 kali. Allah swt. mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman (Q.S. 58: 11). Kemudian, yang paling takut pada Allah adalah orang-orang yang berilmu (Q.S. 35: 28).
Berbekal ruh inilah, kemudian kaum muslimin generasi awal membangun fondasi peradaban untuk bisa mandiri. Karena kemandirian merupakan suatu keniscayaan/kemestian untuk bisa melaksanakan ajaran Islam secara utuh (Q.S. 4; 141). Akhirnya, fakta historis menunjukkkan bahwa dengan semangat Qur’ani, selama beberapa abad ulama-ulama/saintis-saintis muslim menjadi pelopor ilmu, pembawa obor pengetahuan, dan karya-karya mereka dijadikan texbook/handbook di Eropa selama beberapa abad, sehingga kaum muslimin benar-benar menduduki jabatan khalifah fil ardh. Namun, mengapa kaum muslimin saat ini mundur, mereka hanya sebagai objek, dan tidak menjadi subjek?
Pada masa keemasan, kemakmuran duniawi ternikamati karena fasilitas hidup melingkupi diri. Kondisi ini cenderung membuat manusia lupa akan tugas utamanya, yaitu beribadah dan meneruskan mata rantai perjuangan. Semangat ijtihad (pengembangan ilmu) dan jihad (pengembangan power) yang sebenarnya harus tetap melekat pada dada setiap muslim, mulai menurun dari semangat hidup kaum muslimin. Pelan tapi pasti, semangat ijtihad dan jihad mulai direbut oleh orang-orang Eropa yang saat itu mulai bangun dari kelelapan keterbelakangannya. Dengan proses waktu, kira-kira mulai abad ke-14 Masehi dan seterusnya, supremasi mulai berpindah ke tangan orang lain, satu per satu negara-negara muslim bertekuk lutut pada orang lain. Klimaksnya, kaum muslimin menjadi bangsa tertindas, menjadi budak-budak bangsa nonmuslim hingga awal abad ke-19.
Jadi, penyebab utama kemunduran dan kekalahan kaum muslim adalah mandulnya semangat ijtihad (pengembangan ilmu) dan jihad (penegakkan power). Kini perlu ditelusuri faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi mandulnya semangat pengembangan ilmu itu. Masalah ini sebenarnya tidak mudah untuk dijawab, sebab cukup kompleks. Walaupun demikian, kita bisa mencoba membuat suatu hipotesis bahwa penyebab dominan kemandulan pengembangan ilmu di kalangan kaum muslimin adalah karena lahirnya pemikiran dikhotomistik terhadap ilmu (ilmu terbagi dua: ilmu umum dan ilmu agama).Ini merupakan miskonsepsi (kesalahan konsep) yang cukup fatal, sebab tidak relevan dengan ruh Qur’ani. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dikhotomistik itu tidak sejalan dengan ajaran Al Qur’an.
1. Dalam sebagian besar ayat Al Qur’am dan hadits, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam makna generik (umum), misalnya dalam Q.S. 2: 31, 39: 9, 96: 5, 12: 76, 16: 70, dll.
2. Beberapa ayat Al Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak mengandung arti hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja, misalnya dalam Q.S. 27: 15-16 (dalam ayat ini disebutkan Nabi Sulaiman memandang pengetahuan bahasa burung sebagai rahmat dari Allah swt). Atau bisa dibaca Q.S. 35: 27-28 (kata ulama –pemilik pengetahuan— dalam ayat ini menunjuk pada orang yang sadar akan hukum alam dan misteri-misteri penciptaan, sehingga merasa rendah hati dan takut di hadapan Allah swt).
3. Al Qur’an mengakui adanya bidang spesialisasi dalam penguasaan ilmu (Q.S. 9: 122). Namun spesialisasi itu tidak identik dengan dikhotomisasi (pemisahan).
Pemikiran dikhotomistik ini bukan hanya memandulkan semangat riset, tapi juga bisa melahirkan pertentangan internal antara kubu ilmu umum (ilmuwan/saintis) dan kubu ilmu agama (agamawan). Para ahli ilmu agama cenderung kurang menghargai, atau bahkan lebih ekstrim lagi ada yang mengkafirkan hasil penemuan ilmu-ilmu umum. Konsekuensinya, orang-orang yang bergelut di bidang ilmu umum menilai para agamawan sebagai penghambat kemajuan ilmu. Klimaksnya, iptek terpisah dari agama.
Untuk bisa menanggulangi sukses generasi awal, kita harus melakukan seperti apa yang pernah mereka lakukan. Tugas mendesak yang harus dilakukan saat ini adalah mengembalikan ruh Islam secara proporsional dalam seluruh dimensi kehidupan. Maksudnya, kita harus melakukan seperti apa yang pernah dilakukan Rasul, yaitu tidak memisahkan dunia dan akhirat. Setiap aktivitas duniawi mempunyai proyeksi akhirat dan setiap amalan ukhrawi memiliki imbas duniawi. Sehingga terciptalah fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah (di dunia memiliki supremasi dan di akhirat menikmati surga abadi).Agar supremasi duniawi yang pernah diraih kaum muslimin ini bisa direbut kembali, menjadi suatu keniscayaan bagi remaja untuk mempersiapkan diri dengan belajar sungguh-sungguh, tekun, dan selalu siap berkompetisi, serta menghadapi kenyataan secara realistik. Wallahu A’lam.